Cerpen Karangan: Ekaputra
Kupandang langit yang lengkap dengan bulan dan bintang. Aku bertanya pada
sendiri, “Ikatan mana yang paling berharga? Apakah itu keluarga atau apa?”.
Diriku kembali diam, melanjutkan perjalanan pulang. Kubuka pintu gerbang,
kulihat ada sepiring nasi, lengkap dengan lauk pauknya di meja makan. Kulihat
ada empat kursi kosong di meja makan, tanpa berfikir lagi, kulahap makanan itu.
Tengah malam pun tiba…
Kupandang langit kembali. Kulihat mereka masih sama, masih lengkap dengan
bulan dan bintang. Lalu terbesit ingatan akan dirinya yang sangat kusayangi.
Terlintas kembali harapan akan dirinya yang kembali bercengkrama denganku. Tapi
itu tidak mungkin terjadi. Aku pun terlelap dalam tidurku.
Tiba-tiba pintu kamar pun terbuka. Aku pun terbangun dan kulihat ada kedua
orangtua dengan wajah kecewa. Mereka menatapku, menatap mataku. Wajah mereka
semakin kecewa. Wajah itu mulai muncul ketika saudara kembarku yang cerdas nan
berguna yang akan menjadi penerus keluargaku, meninggal karena melindungi
diriku pada saat kecelakaan. Melindungi seorang adik yang bisu, yang lemah,
selalu bergantung pada orang lain, dan tidak layak untuk meneruskan kekayaan
keluarga. Iya, sama sekali tidak layak.
Kedua orangtuaku menyalahkanku mengapa bukan aku saja yang mati pada saat
itu. Setiap mereka menemuiku, mereka mengatakan hal yang kejam. Terkadang
diriku bertanya-tanya dalam hati. “Inilah keluarga? Apakah keluarga seperti penjara?
Apakah keluarga seperti tempat siksaan lahir dan batin?”.
Diriku yang bisu, tak bisa mengatakan apapun untuk mencegah. Terkadang
kucoba bunuh diri untuk terbebas dari neraka ini. Tuk terbebas dari penjara
ini. Lalu ketika berfikir hal itu, kedua orangtuaku mengucapkan kata-kata yang
tak bisa lepas dari ingatanku. “Sungguh malang keluarga ini, mempunyai anak
yang tak berguna, anak yang bisu, seharusnya kami tidak melahirkanmu”. Entah
kenapa, batinku terasa terhujam oleh sesuatu yang tajam. Diriku hanya bisa
mengeluarkan air mata yang membasahi pipiku.
Pada akhirnya, hati ini tidak bisa menahan tekanan ini. Keluarga yang
seharusnya menjadi tempat yang paling aman, keluarga yang seharusnya menjadi
tempat kembali yang paling nyaman, telah menjadi tempat penyiksaan bagiku.
Diriku sudah tidak bisa menahan lagi.Kupandang langit pada malam itu melalui
jendela di kamarku. Kulihat langit yang sama seperti langit yang waktu itu
kulihat. Mungkin sekarang aku bisa berkumpul kembali dengan dirinya, saudaraku
yang tersayang.
Lalu, terlihat darah yang mengalir deras di lantai, terlihat tubuh lemah yang
tergeletak.
“Inikah Keluarga?”. Ucapku dalam hati.
Lebih semangat lagi...
BalasHapus